Langsung ke konten utama

Short Story: Sepotong Roti untuk Firman

Hanya seorang pemimpi. Mari bermain bersama :)

Sepotong Roti untuk Firman
Sama seperti hari-hari biasanya. Aku berangkat empat puluh lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Sekolah masih sepi. Hanya beberapa siswa dan lima orang guru saja yang sudah berada di gedung sekolah.

Aku membuka ruang kelas. Ah, ternyata seperti biasanya. Firman, teman sekelasku sudah tiba. Dia adalah satu-satunya siswa yang rajin sekali berangkat pagi. Teman-teman sekelas sudah hafal siapa yang paling rajin datang ke sekolah. Firman, kemudian aku.

Ragu-ragu, aku menyapa Firman yang duduk di bangku paling pojok, "Pagi, Firman."

Dia hanya menggumam—seperti biasa. Dia laki-laki yang bisa dibilang aneh, ia selalu menghindari teman-teman yang lain, ia seakan-akan memiliki dinding pembatas tak kasat mata untuk menjaga dirinya dari orang lain. Banyak yang bilang ia begitu karena ia memiliki kehidupan yang berat.

Aku kemudian mengambil bangku beberapa meja di depannya.

"Hasna, kau sudah mengerjakan tugas matematika?" Tanya Firman tiba-tiba. Ia kemudian menghampiriku dan duduk di depanku.

Aku mengangguk, "Kau sudah?" Tanyaku.

"Mana punyamu? Kucocokkan denganku," katanya, ia lalu mengambil bukuku tanpa permisi. Ia memang seperti itu, tata kramanya kurang.

Ia kemudian membuka-buka buku tugasku. 
Ia manggut-manggut sebentar lalu menatapku, "Kenapa begini? Kenapa kau pakai rumus ini?"

Ah, dia mulai lagi. Dia satu-satunya laki-laki berpikiran kritis yang oernah kutemui. Ia akan bertanya sampai ia menemukan jawaban yang pasti.

Aku tertawa, "Entahlah. Aku hanya asal menghitung."

"Caranya bukan begitu. Kau salah," ujarnya sambil menunjuk-nunjuk buku tugasku.

"Lalu?" Tanyaku.

"Begini," ia kemudian menuliskan rumus dan menyelesaikannya.

"Nah begitu," ujarnya.

"Wow, aku berkomentar singkat. Ia mampu mengerjakan soal dengan mudah tanpa perlu pikir panjang dan coretan.

"Pasti Ibumu senang punya anak sepertimu," celetukku. Ia pun memandang wajahku sebentar. Lalu menunduk.

Apa aku salah bicara? Kenapa tiba-tiba ia menunduk?

"Firman?"

"Tidak. Ibuku tidak bangga dengan anak tak berguna sepertiku," ujarnya lirih.

"Jangan bicara begitu," tegurku. Aku tiba-tiba merasa bersalah.

"Memang itu faktanya," timpalnya santai. Ia lalu berdiri sambil tertawa, "Aku pinjam tugasmu,"

Ia kemudian kembali ke bangkunya sambil membawa buku tugasku. Aku diam saja, aku sepertinya benar-benar salah bicara. Sorot matanya tersirat luka.

"Hasna, kau salah lagi di sini," ujarnya.

"Ehh? Mana?" Seruku, aku kemudian bangkit dari bangkuku dan mendekati Firman.

"Ini harusnya pakai rumus yang ini," ujarnya sambil menuliskan jawaban yang—ia anggap—betul.

"Oh.. begitu. Ah, makasih," seruku sambil tersenyum.

Ia memandangiku, "begitu saja salah."

"Eh, ya.. aku hanya menghitung asal," kilahku.

Ia tertawa. Detik berikutnya, aku mendengar sebuah suara.

Ia terdiam. Aku pun ikut terdiam.

Firman menunduk, kembali menyalin jawabanku.

"Kau tadi sudah sarapan?" Tanyaku hati-hati.

"Ibu mana sempat memasak? Hidupku tidak seperti yang kau bayangkan," ujarnya, atensinya masih terpaku pada buku tugasku.

Aku diam saja.

"Hidupku tak seindah hidupmu. Walau kau sudah tidak punya Ibu, Ayahmu masih menyayangimu. Memenuhi kebutuhan hidupmu dan adikmu. Sedangkan Ibuku? Hanya mengurus aku saja Ibu tidak mampu," katanya.

Aku membeku di tempat. Aku bisa melihat bahunya bergetar. Andai saja aku boleh, ingin sekali kupeluk tubuh jangkungnya tapi itu tidak boleh—aku takut dengan dosa.

Firman mendecih, ia memegangi perutnya.
"Punya obat maag?" Tanyanya.

Aku menggeleng, menyesal.

"Perlu ke UKS?" Tawarku.

"Tidak. Aku bisa menahannya," sahutnya. Aku menggeleng. Tiba-tiba aku teringat kalau aku membawa roti isi—aku iap hari membawanya untuk makan siang.

"Ambillah," kataku sambil menyodorkan roti.

Ia menggeleng.

"Itu punyamu," katanya.

"Aku sudah kenyang," sahutku.

"Nanti siang kau lapar," ia berkata retoris.

"Tapi saat ini kau yang lapar," sahutku cepat.

"Jangan menolak. Kali ini saja. Aku ingin membantumu," lanjutku pelan.

"Aku tak butuh bantuanmu," sahutnya cepat.

Ah, Firman memang tidak pernah mau dikasihani.

"Firman, hari ini saja, aku ingin kau membagi lukamu. Aku ingin kau membagi rasa sakitmu. Aku tahu selama ini kau pendam sendirian. Aku tidak ingin kau menahan rasa sakit sendirian," kataku pelan.

Ia menghela napas panjang.

"Terima kasih," finalnya.

Aku tersenyum. Ah, sudah dua setengah tahun kami sekelas, tapi baru pertama kali ini aku melihat senyumnya.

"Aku adalah tipikal orang yang tak membiarkan orang lain memasuki zonaku. Namun kau melanggarnya," katanya sambil memakan roti isi dariku.

Sepertinya besok-besok, kami bisa mengobrol mengenai banyak hal—atau mungkin kami bisa berbagi rasa sakit.
Selesai
#ywc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Short Story: Genggaman Anoman

Hanya seorang pemimpi. Mari bermain bersama :) Hola, ada cerpen, nih! Sudah lama ngga nulis di blog DX semoga ke depannya bisa rajin :(( Genggaman Anoman “Eww.. masih laku, ya, nonton wayang?” candaku begitu kulihat adikku membujuk Ayah untuk menemaninya ke pertunjukan wayang malam ini. Ayah memandangiku seolah menegurku. “Ih, wayang itu keren tahu!” seru Elsa—adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar tahun kedua.

Resensi Buku: Dunia Anna

Hanya seorang pemimpi. Mari bermain bersama :) Resensi Buku: “Dunia Anna” Judul asli: Anna. En fabel om klodens klima og milj ΓΈ Penulis: Jostein Gaarder Penerjemah: Irwan Syahrir Penyinting: Esti A. Budihapsari Proofeader: Ine Ufiyatiputri Tebal Buku: 244 Halaman Penerbit: Mizan Tahun Terbit: 2013, 2014 (Di Indonesia) “Nova sayang, aku tak tahu bagaimana rupa dunia saat kau membaca surat ini.. ” Awalnya saya iseng membeli novel ini—sekaligus nekad. Karena saya biasanya ngga membaca novel yang berat-berat—lirik-lirik sub-judulnya. Awal buka novel ini saya deg-degan karena takut otak berkapasitas rendah saya mampu membca novel macam ini wkwk XD. Namun, realitanya ngga seburuk itu, kok! Alhamdulillah saya mampu membaca novel ini—walau dengan durasi yang sangaaaat lama. Novel ini bercerita seorang gadis bernama Anna yang bisa dibilang punya pola berpikir yang unik. Dia suka bermimpi, tapi tidak seperti kebanyakan orang yang bermimpi dengan normal . Di ...

Faathimah - K1219035: REVIEW JURNAL DILEMA

Review Jurnal: Perilaku Jilbab di Universitas Sebelas Maret (Studi Kasus Tren Memakai Jilbab di Kalangan Mahasiswa FKIP UNS Latar Belakang Penggunaan jilbab di kalangan perempuan Indonesia sekarang ini menjadi fenomena yang berkaitan dengan fesyen. Sangat berbeda dengan fesyen perempuan Indonesia pada zaman dahulu. Jilbab sendiri merupakan ketentuan berpakaian untuk wanita muslim yang sudah di tetapkan dalam Alquran. Penggunaan jilbab dapat disebutkan sebagai bentuk ketaatan, kesopanan, dan perlawanan (fatwa El Guindi). Syariat Islam mengenai pemakaian jilbab ini dari hasil data jilbab UKM SKI dilihat dari tabel SKI dan hasil observasi yang sudah dilakukan sudah sangat memasyarakat, termasuk di kampus Universitas Sebelas Maret dengan tempat observasi di kantin, perpustakaan, dan public space FKIP UNS . Akan tetapi, kita juga harus terfokus pada motivasi dan tujuan pemakaian jilbab. Apakah mengedepankan syariat Islam atau hanya sekadar tren saja. Tujuan Artikel Ilmiah J...