Hanya seorang pemimpi. Mari bermain bersama :)
Resensi Buku:
“Dunia Anna”
Judul asli: Anna.
En fabel om klodens klima og miljΓΈ
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Irwan Syahrir
Penyinting: Esti A. Budihapsari
Proofeader: Ine Ufiyatiputri
Tebal Buku: 244 Halaman
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2013, 2014 (Di Indonesia)
“Nova sayang, aku tak tahu
bagaimana rupa dunia saat kau membaca surat ini..”
Awalnya saya iseng membeli novel ini—sekaligus nekad. Karena saya
biasanya ngga membaca novel yang berat-berat—lirik-lirik sub-judulnya. Awal buka
novel ini saya deg-degan karena takut otak berkapasitas rendah saya mampu
membca novel macam ini wkwk XD. Namun, realitanya ngga seburuk itu, kok!
Alhamdulillah saya mampu membaca novel ini—walau dengan durasi yang sangaaaat
lama.
Novel ini bercerita seorang gadis bernama Anna yang bisa dibilang punya
pola berpikir yang unik. Dia suka bermimpi, tapi tidak seperti kebanyakan orang
yang bermimpi dengan normal. Di sini
cewek unik ini ceritanya suka bermimpi menjadi orang lain, bahkan menjadi
binatang.
Anna ini juga seorang pencinta lingkungan yang akut. Ia sempat dibawa
ke dokter psikiater bernama Dr. Benjamin. Atas saran Dr. Benjamin, Anna
memutuskan untuk “memuaskan” keinginannya dalam mencintai lingkungan dengan membuat
sebuah perkumpulan bersama pacarnya yang bernama Jonas.
Pada suatu malam menjelang hari ulang tahunnya, ia mendapatkan sebuah
cincin dari batu ruby yang
turun-temurun dari neneknya*atau siapa gitu, lupa :v. Nah, ketika ia mulai
menjelajah dunia mimpinya, di situlah suatu kejadian unik mulai.
Ia terbangun menjadi seorang gadis bernama Nova—yang ternyata cicitnya
70 tahun kemudian. Di bumi Nova tinggal, bumi sudah bisa dibilang miris. Banyak
sekali hewan-hewan sekaligus tumbuhan yang punah. Bahkan orang-orang Arab
terpaksa berhijrah ke Norwegia.
Pada saat Nova bangun, ia mendapatkan sebuah pesan dari neneknya 70
tahun yang lalu—alias Anna. Di surat itu Anna menceritakan mengenai kerusakan
lingkungan—mereka ternyata sama-sama pencinta lingkungan. Nenek-cicit ini,
walau hidup di zaman yang berbeda mereka ternyata memiliki kesamaan mengenai
persoalan rusaknya bumi tempat mereka tinggal.
Sesaat membaca novel ini, saya selalu merutuk dalam hati. Kenapa Pak
Jostein Gaarder mampu menulis se”wah” ini? Buku ini bisa dibilang tipe buku “anti-tutup-buku-sebelum-selesai”—tapi
sayanya yang sok sibuk jadi lama selesainya DX
Novel ini juga bikin kita sadar kalau bumi itu perlu dijaga sepenuh
hati, agar generasi berikut kita bisa menikmati keindahan yang bisa kita
nikmati saat ini. buku ini juga “menampar” mengenai fakta bumi itu rusak gegara
ulah kita-kita sendiri.
Novel ini, harus dibaca dengan teliti—menurut saya sih—karena yahh..
otak saya tak cukup cepat menangkap soal yang berat-berat XD tapi overall saya sudah terlalu jatuh cinta
dengan Jostein Gaarder—dan karya-karyanya XD
“Wahai burung-burung kecil...
kembalilah kalian! Kakaktua, perkutut, gagak, dan jalak... berkicaulah
sepanjang hari! Burung gereja bersorak di angkasa... membawa musim semi yang
baru. Es dan salju, kalian harus pergi. Datanglah mentari dan sukacita!” [Hal.
56]
#ywc #gtc
#ywc #gtc
Komentar
Posting Komentar