Hanya seorang pemimpi. Mari bermain bersama :)
Hola, ada cerpen, nih! Sudah lama ngga nulis di blog DX semoga ke depannya bisa rajin :((
Hola, ada cerpen, nih! Sudah lama ngga nulis di blog DX semoga ke depannya bisa rajin :((
Genggaman
Anoman
“Eww..
masih laku, ya, nonton wayang?” candaku begitu kulihat adikku membujuk Ayah
untuk menemaninya ke pertunjukan wayang malam ini.
Ayah memandangiku
seolah menegurku.
“Ih, wayang
itu keren tahu!” seru Elsa—adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar
tahun kedua.
“Oh, ya? Pertunjukan
kuno macam itu?” kataku sambil menjulurkan lidah. Oh, zaman sekarang masih suka
menonton wayang? Menonton film Barat menyenangkannya berlipat-lipat.
“Kakak yang
kuno!” teriak Elsa. Aku tertawa melihat kelakuan anehnya. Harusnya ia tahu
kalau ialah yang kuno di sini.
“Mulan,
tidak harusnya kamu bilang begitu sama adikmu,” tegur Ayah. Aku sudah menebaknya.
Ayah sama seperti Elsa—penggila wayang. Apa pula kerennya wayang? Menonton wayang
adalah sebuah kegiatan yang sangat mebuang-buang waktu. Aku heran memikirkan
hal itu.
“Ya, Yah,”
kataku. Aku lalu masuk ke kamar, daripada berdebat soal menonton wayang dengan
Elsa—yang selalu berakhir dengan tangisan memekakkan telinga darinya—lebih baik
aku menonton serial animasi dari negeri Sakura yang baru saja tayang.
Kubuka gawaiku
dan kubuka aplikasi menonton animasi secara daring. Kutonton episode-episode
awal, tapi kurasa mataku memberat. Mungkin lebih baik jika aku tertidur.
“Hei,
bangunlah! Jangan mati di sini!” teriak seseorang. Aku merasakan orang itu
menepuk-nepuk pipiku.
Aku mengerang,
rasanya tubuhku pegal-pegal.
Eh? Dimana ini?
“Aku
dimana?” tanyaku sambil mengucek kedua mataku. Kutatap lawan bicaraku, detik
berikutnya aku merasa aku mau mati.
Sesosok kera
berbulu putih tersenyum lebar ke arahku.
“Kukira kau
penyusup atau apa begitu, ternyata aku salah,” ia tertawa.
“A-aku
dimana?” tanyaku lagi. Aku mengedarkan atensiku, yang kulihat hanya padang
rumput dan beberapa bangunan kuno.
Ia memandangiku
bingung. Hei, apa anehnya aku bertanya sesuatu?
“Kau tidak
tahu? Kau saat ini berada di Bumi Alengka. Tadi aku menemukanmu saat aku
membakar Bumi Alengka. Lalu aku menyelamatkanmu karena kau sedang tertidur di
sana,” ujarnya santai.
“Sepertinya
aku pernah mendengar tentang Alengka,” timpalku.
“Tentu saja
kau mendengarnya,” ia tertawa.
“Benarkah? Tapi
harusnya aku berada di rumah,” ujarku.
“Di mana
rumahmu? Biar kuantarkan kau pulang,” ujarnya ramah.
“Tidak, aku
bisa sendiri. Ayah bilang jangan mudah percaya dengan orang asing,” ujarku
cepat. Aku sempat meneliti sekitar. Di sini tidak seperti di rumah atau
sekitarnya. Tempat ini seperti tempat pada zaman dahulu—bangunan-bangunan kuno
itu meyakinkanku.
“Kau tidak
mengenalku?! Ternyata ada juga, ya, manusia yang tidak mengenal kera sakti
bernama Anoman ini!” dia tertawa lagi, tapi terselip rasa terkejut.
Oh, namanya
Anoman. Aku pernah mendengar namanya dari Elsa. Dia adalah salah satu tokoh
wayang yang paling Elsa sukai. Eh?! Tokoh wayang?!
“Kau
Anoman?!” tanyaku cepat.
Ia mengangguk.
“Ini bukan
di rumahku?!” tanyaku lagi. Lagi-lagi ia mengangguk.
“Bagaimana
aku harus pulang?!” aku mulai panik. Aku pernah mendengar cerita Elsa mengenai
tokoh antagonis yang mengerikan. Bagaimana jika aku ditawan oleh para tokoh
antagonis itu?
“Kau
tinggal sebut dimana rumahmu. Aku akan menggendongmu sambil terbang,” ujar kera
putih yang mengaku sebagai Anoman.
Aku sangsi
dengan perkataannya. Kira-kira dia tahu wilayah Indonesia tidak, ya?
“Aku
tinggal di Jawa,” ujarku pelan.
“Jawa? Mana?
Ah, sepertinya aku tahu,”
Eh? Dia tahu
wilayah-wilayah Indonesia?
“Tunggu,”
ujarnya tiba-tiba. Ia menatapku penuh selidik.
“Kau bukan
dari sini, ya?” tanyanya seperti mengintrogasi. Aku mengangguk pelan.
“Ah, kalau
begitu. Aku tidak bisa mengantarmu pulang!” serunya.
“Eh?! Kenapa
begitu? Kau bilang kau bisa mengantarku pualng?” protesku.
Ia menyeringai.
“Sepertinya
kau harus ikut aku,” ia menarik lenganku. Lalu aku merasa kakiku tidak lagi
menapak pada rerumputan. Ya ampun, demi apa ini? aku bisa merasakan tubuhku
terbang! Menembus gumpalan awan yang ternyata terasa lembut.
Aku menoleh
ke bawah, Bumi Alengka yang katanya terbakar oleh Anoman, masih terlihat merah
dan berasap.
“Itulah
balasan untuk yang berbuat buruk!” serunya, sepertinya ia tahu kemana arah
mataku tertuju.
“Kita mau
kemana?” tanyaku, mengabaikan ucapannya.
“Tempat
rahasiaku. Aku menyembunyikan tempat ini dari siapapun,” ujarnya dengan keras. Aku
hanya mengangguk.
Aku memandangi
hamparan di bawahku. Semua serba hijau, hanya sidikit bangunan—tidak seperti di
tempatku. Air sungainya pun mengalir panjang dan jernih serta memantulkan
cahaya mentari. Membuat mataku terasa terlena dengan suguhan yang sungguh lebih
indah dari pemandangan sungai kotor dekat rumahku.
“Nah, sebentar
lagi sampai,” ujarnya. Ia merendahkan gestur tubuhnya, lalu perlahan tubuh kami
semakin mendekat dengan daratan. Kami kembali menapakkan kaki, kami sekarang
berdiri di tengah-tengah hutan.
Anoman menyentuh
sebuah pohon besar yang berada di depan kami. Ajaib, pohon itu berubah menjadi
sebuah lubang kayu yang berukiran cantik.
“Kurasa
lubang yang biasa kupakai ini lagi-lagi mengisap orang,” ujarnya.
Aku menatapnya
bingung, meminta penjelasan lebih.
“Ini
rahasia. Aku sering pergi ke masa depan dan masa lampau,” Anoman berbisik
padaku.
Aku melongo.
“Dan
sepertinya aku pernah pergi ke masa dimana banyak orang yang suka dengan budaya
orang Barat—aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi, aku harap kau tidak begitu. Aku
juga melihat ada boneka sepertiku yang diperebutkan oleh dua negara, kuharap
itu bukan suatu hal yang besar,” ia melanjutkan.
“Kembalilah
ke rumahmu. Namun, kau harus menutup matamu dengan ini,” ia menyobek kainnya,
lalu melilitkannya di mataku. Aku hanya menuruti kata-katanya—karena aku
terlalu syok dengan apa yang baru saja Anoman bilang.
“Sampai
jumpa!” ia mendorongku. Aku merasakan sesuatu mengisap tubuhku kuat.
BUG!
Aku mengaduh.
Aku merasa tubuhku menghantam kasurku.
“Kak
Mulan?!” Elsa masuk kamar dengan tergesa.
“kau tidak
apa-apa, Kak? Kenapa Kakak melilitkan jarik ke mata Kakak?” tanyanya panik. Aku
diam saja, masih memroses apa yang telah terjadi.
Aku mendudukkan
tubuhku. Ini bukan mimpi! Ini nyata! Aku menyentuh sobekan kain jarik yang
Anoman berikan padaku.
“Elsa, aku
ikut menonton wayang, ya?” ujarku tiba-tiba.
SELESAI
Gambar sepenuhnya milik pencipta *by DevianArt
Cerpen ini untuk: #ywc #gtc
Bantu saya menemukan saltikXD dan semoga syuka~^^
Komentar
Posting Komentar